: Aksi Palestina yang diadakan oleh MUI di Monas pada Ahad 17 Desember 2017 menghasilkan petisi. Di antara isi petisi adalah memboikot produk Amerika dan Israel. Lho, bukankah di dalam Islam kita diperbolehkan untuk bermuamalah dengan orang kafir, lantas kenapa kita harus memboikot mereka? Bukankah itu bertentangan dengan prinsip syariat?

Sebelum kita mengkaji itu semua, sebagai seorang muslim melihat tragedi Palestina janganlah bersedih dan kecil hati, kita harus yakin dan optimis bahwa episode ini akan berlalu jika kita mengikuti tuntunan Allah dalam menjemput kejayaan.

Syaikhul Islam berkata, “Sebagaimana Allah SWT melarang Nabi-Nya untuk merasa sedih dan berkecil hati terhadap mereka-mereka yang belum masuk Islam pada awal dakwah Islam, begitu juga di akhirnya. Orang-orang beriman dilarang untuk bersedih atau merasa sempit hatinya terhadap orang-orang kafir atau makar mereka terhadap umat Islam. Banyak orang, jika melihat kemunkaran (merajalela), atau kondisi keislaman berubah (menjadi lebih buruk) merasa putus asa, lemah dan bersedih seperti orang yang ditimpa musibah, padahal dia dilarang seperti ini. Justru, wajib baginya untuk bersabar, tawakal dan teguh di atas din Islam dan senantiasa yakin bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan mereka berbuat baik. Sesungguhnya hasil akhir milik mereka yang bertakwa, adapun apa yang menimpanya merupakan akibat dari dosa yang dia lakukan. Hendaklah dia bersabar sesungguhnya janji Allah benar, hendaklah dia meminta ampun atas dosanya dan bertasbih kepada Rabb-Nya di pagi dan sore hari.” (Majmu’ Fatawa 18/295)

Hukum Asal Bermuamalah dengan Orang Kafir


Boikot yang dimaksud di sini adalah membatasi diri dalam melakukan jual beli dengan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini, konteksnya adalah membatasi diri untuk tidak membeli produk-produk Amerika atau Israel karena perbuatan yang mereka lakukan terhadap Palestina.

Hukum asal bermuamalah dengan orang diperbolehkan, baik mereka Ahlu Dzimmah, Ahlul Ahdi (Kafir yang memiliki perjanjian dengan umat Islam) atau kafir harbi (kafir yang boleh diperangi), selama objek akad dan kandungan akadnya tidak bertentangan dengan aturan Islam. Hal tersebut tidak termasuk memberikan loyalitas kepada mereka.

Dari Abdurrahman bin Abu Bakr –radhiyallahu anhuma- berkata, “Kami sedang bersama Rasulullah SAW, kemudian datang seorang musyrik, rambutnya panjang dan kusut masai membawa seekor kambing. Kemudian Nabi SAW berkata, “Kambing ini untuk dijual atau pemberian? (atau Nabi berkata, ‘untuk hibah’).” Orang musyrik tadi berkata, “tidak (sebagai hadiah), tapi untuk dijual.” Kemudian Nabi membeli kambing darinya.” (HR Bukhori, no 2216)

Di dalam Shohihnya, Imam Bukhori meletakkan hadits ini pada bab, “Bab jual beli dengan musyrik dan ahlul harb (kafir harbi).”

Nabi Muhammad SAW juga pernah memerintahkan Salman Al-Farisi untuk mukatabah. Mukatabah adalah seorang budak menebus dirinya kepada tuannya, dan tuan Salman Al-Farisi saat itu adalah seorang Yahudi. ((Diriwayatkan Bukhori secara Mu’allaq)

Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma– berkata, “Rasulullah SAW wafat dan baju besi beliau tergadai pada seorang Yahudi, karena beliau berhutang 30 sho’ gandum guna memberi nafkah kepada keluarganya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan yang lainnya)

Diriwayatkan dari Aisyah –radhiyallahu anha– bahwa Nabi Muhammad SAW berhutang bahan makanan kepada seorang Yahudi. (Bukhori Muslim)

Kebolehan ini bersifat umum, tidak terbatas hanya pada negeri-negeri Islam, bahkan kebolehan ini juga berlaku jika muamalah tersebut dilakukan di negeri kafir sekalipun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seorang bersafar ke darul harb untuk membeli sesuatu, maka hal itu diperbolehkan menurut mazhab kami. Hal ini ditunjukkan oleh hadits berdagangnya Abu Bakar –radhiyallahu anhu- di Syam semasa hidup Rasul, padahal saat itu Syam adalah Darul Harb dan banyak hadits lainnya (sebagai pendukung).” (Iqtidho Shirothol Mustaqim 2/15)

Hasan Al-bashri berkata, “Abu Musa Al-Asy’aari menulis surat kepada Umar bin Khattab –radhiyallahu anhuma– (isinya), “Pedagang muslim jika masuk ke darul harb (negeri kafir yang tidak ada perjanjian) ditariki pajak 10 persen. Kemudian Umar membalas yang isinya, “Kalau begitu, ambillah Uysr (bea cukai) dengan nilai yang sama.” (HR Al-Baihaqi, no 19283)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Diperbolehkan bermuamalah dengan orang kafir selama objek muamalahnya tidak mengandung unsur yang haram, dan dalam hal ini keyakinan dan cara mereka bermuamalah satu sama lain tidak dianggap.” (Fathul Bari 9/820)

Kondisi Tidak Boleh Berdagang dengan Orang Kafir


Namun, ada kondisi di mana umat Islam tidak diperbolehkan berjual beli dengan orang kafir, yaitu ketika barang dagangan tadi mereka manfaatkan untuk memerangi umat Islam. Allah SWT berfirman :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَان

Artinya, “Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan saling tolong menolong di atas dosa dan permusuhan.” (QS Al-Maidah 2)

Ibnu Baththol berkata, “Bermuamalah dengan orang kafir diperbolehkan, kecuali jual beli yang dengannya orang kafir memanfaatkannya untuk memerangi umat Islam.” (Fathul Bari 4/410)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang bermuamalah dengan Tartar, beliau menjawab, “Diperbolehkan bermuamalah dengan mereka, selama itu halal, dan dilarang jika mengandung hal yang haram. Namun jika bertransaksi jual beli dengan mereka dan itu membantu mereka untuk melakukan hal yang haram, seperti menjual kuda perang atau senjata bagi mereka yang melakukan perang yang haram (memerangi kaum muslimin), maka hal ini tidak boleh. Di dalam hadits Nabi disebutkan, “Allah melaknat 10 orang terkait khomr. Allah melaknat zat khomrnya, tukang perasnya (anggur), orang yang meminta untuk diperaskan, pembawa khomrnya, pemilik tempat ke mana khomr itu diantarkan, penjualnya, pembelinya, yang menuangkannya, peminumnya dan orang yang mengambil untung dari khomr.” (Majmu Fatawa 29/275)

Dari penjelasan Ibnu Taimiyah di atas dapat dipahami bahwa terkadang sesuatu tidak dilihat dari perbuatannya saja, tapi bisa saja secara hukum asal perbuatan itu diperbolehkan, namun menjadi haram karena dampak dari perbuatan tersebut.

Di dalam sejarah Nabi kita juga mendapati bagaimana Nabi Muhammad SAW melakukan perlawanan terhadap kekuatan ekonomi musuh, guna melemahkan kekuatan mereka. Hal ini beliau lakukan ketika beliau meminta kepada Sa’ad bin Abi Waqosh dengan berkata, “Wahai Sa’ad, keluarlah engkau ke Kharrar, karena sesungguhnya unta dagang Quraisy akan lewat sana.” (Maghozi Al-Waqidi 1/11)

Nabi juga pernah keluar bersama 200 pasukan untuk menghadang kafilah dagang Quraisy di Buwath (Sirah Ibnu Hisyam 2284)

Sebagaimana kita ketahui juga bahwa penghadangan terhadap kafilah dagang Quraisy menjadi sebab terjadinya perang Badar. Diriwatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma-, bahwa Rasulullah SAW mendengar kafilah dagang Abu Sufyan kembali dari Syam, Rasul mengajak kaum muslimin menghadangnya, Nabi SAW berkata, “Ini adalah kafilah dagang Quraisy, di dalamnya terdapat harta-harta mereka, maka keluarlah kalian menghadangnya, semoga Allah menjadikannya harta rapasan perang bagi kalian.” Maka para sahabat mengikut seruan tersebut.” (Sirah Ibnu Hisyam 2/284)

Apa yang pernah dilakukan oleh Rasul juga dilakukan oleh kelompok Abu Bashir (yaitu kelompok yang masuk Islam setelah Hudaibiyah, dan melarikan diri dari Mekkah, namun Rasulullah SAW tidak bisa menerima mereka di Madinah karena terikat perjanjian). Tidaklah mereka mendengar kafilah dagang Quraisy melewati daerah mereka kecuali mereka menghadangnya dan merampas harta orang Quraisy. (Shohih Bukhori 7231)

Lebih dari itu semua, Nabi Muhammad SAW pernah mendoakan agar perekonomian Quraisy dilemahkan.

Dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu anhu- berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW saat berdakah kepada QUraisy dan mereka mendustakan dan sombong, Nabi berdo’a, “Ya Allah bantulah diriku untuk mengalahkan mereka dengan mengirimkan kepada mereka 7 musim kemarau sebagaimana musim kemaraunya Yusuf.” Kemudian merekapun ditimpa kekeringan yang menghabiskan segaa sesuatu, hingga mereka memakan bangkai. Ada salah seorang mereka yang berdiri melihat antara dirinya dan langit seperti awan yang diliputi kekeringan dan kelaparan. Kemudian Abu Sufyan berkata, “Wahai Muhammad, kaummu celaka, berdoalah kepada Allah agar mencabut musibah ini dari mereka.” (Shohih Bukhori 4823)

Dalam kaidah menyimpulkan hukum di Ushul Fikih dikenal istilah Saddudz Dzarai’ (menutup jalan), yaitu melarang sesuatu yang hukumnya mubah, agar yang mubah tadi tidak menjadi sarana untuk menuju yang haram. Yaitu mengharamkan sesuatu yang mubah karena bisa berdampak kepada mafsadat.

Jika hal yang mubah ini bisa dipastikan menjadi jalan menuju yang haram, maka para ulama sepakat melarangnya, namun jika persentasi yang mubah ini menjadi jala bagi yang haram persentasinya jarang, maka ulama tetap berpegangan dengan hukum asal, yaitu mubah. Lantas bagaimana jika kadang dia menjadi jalan bagi sesuatu yang haram dan kadang tidak?

Jika kondisinya berimbang, terkadang sesuatu itu menjadi jalan menuju yang haram, namun kadang tidak, maka dalam hal ini para ulama mengkaji maslaha dan mafsadat dari hal tersebut.

Ibnu Katsir berkata, “Syariat menunjukkan bahwa jika sesuatu hukumnya haram, maka segala jalan untuk menuju keharaman juga diharamkan, karena apa yang menjadi jalan untuk sesuatu yan haram maka dia haram, sebagaimana segala sesuatu yang tidak sempurna kewajiban dengannya maka hukumnya menjadi wajib. (Tafsir Ibnu Katsir 3/351)

Dalam konteks ini kasus memboikot perekenomian orang kafir bisa masuk dalam kategori ini. Secara hukum asal diperbolehkan, namun karena berdampak kepada yang haram (sebagai sarana memerangi umat Islam di Palestina) maka, hukumnya bisa menjadi haram.
Axact

CYBER TAUHID

Blog ini dibuat untuk mengcounter propaganda musuh musuh Islam dari dalam maupun dari luar, bagi antum yang peduli silakan sebarkan artikel yang ada di blog ini. In Shaa Alloh kami dapatkan berita dari sumber yang terpercaya.NO HOAX

Post A Comment:

0 comments:

tes