By: Nandang Burhanudin
****
Lazimnya sebuah perjuangan, rintangan dan hambatan itu menjadi niscaya. Ketika lawan menebar hambatan, itu bermakna kita ada kekuatan. Saat jaring-jaring jebakan terpasang. Itu berarti geliat perjuangan itu nyata. Besarnya rintangan dan hambatan, justru seiring dengan laju, suhu, dan daya jelajah perjuangan itu sendiri. Pantas sebuah syair Arab mengatakan,
"Jika suatu bangsa berharap melegenda.
Sepatutnya ia songsong takdir nyata.
Malam itu tak selamanya gelap gulita.
Rintangan apapun akan punah tiada."
"Bangsa yang enggan memeluk peluh kehidupan.
Ia akan tenggelam dan hilang dari peredaran.
Nistalah orang yang hanya mencaci keadaan.
Namun berharap maju dan menjadi pemenang."
Sekian puluh tahun Indonesia merdeka, kepemimpinan hanya didominasi Bani Soekarno, Bani Soeharto, Bani Sarwo Edhie, dan para pensiunan yang energi dan visi ke-Indonesiaannya (jangan tanya visi keIslaman) sangat memprihatinkan. Alih-alih Indonesia tinggal landas, yang terjadi adalah tinggal ludes. Apa penyebabnya? Tak lain karena kaum muda Indonesia tak memiliki narasi yang jelas, dan sibuk dengan narasi-narasi konseptual yang tercerabut dari realitas.
COba perhatikan! Saat umat bodoh, miskin, dan termarjinal. Diskusi anak-anak muda bukan menciptakan pekerjaan dan meningkatkan penghasilan. Tapi berdebat panjang tentang Golput, Haramnya Demokrasi, Khilafah Syariah solusinya! Lebih tragis lagi, saat mayoritas umat buta tentang Nabi dan lebih mencintai perayaan Noni, anak-anak muda sibuk berdebat seputar Memperingati Maulid Nabi! Narasi yang benar-benar garing. Jauh dari realita! Umat dimana, para da'i kemana!
Mengapa para juru dakwah mengalami kehilangan narasi? Ada lima penyebabnya:
1. Dunuwwul Himmah (Rendahnya motivasi dan visi hidup).
Dakwah yang menyulitkan, mengejek, menakut-nakuti, atau menyalah-nyalahkan adalah model dakwah yang sangat rendah. Apalagi ada pengklaim memperjuangkan Syariah-Khilafah, namun memosisikan akhlak dan jihad berada di posisi buncit dalam perjuangannya.
Apalagi paham yang meniadakan nasionalisme dan cinta tanah air. Rasul saja sempat menangisi Mekkah. Rakyat Palestina hingga kini tak jelas rimba, saat tanah air direbut paksa Israel. Lalu apakah kita umat Islam Indonesia harus menyerahkan setiap jengkal tanah kepada kaum Liberal-Sekuler-Noni-LGBT? Sungguh pemahaman antinasionalisme adalah paham yang digunakan Zonis-Salibis agar umat Islam enggan mengurusi negerinya dan membiarkan penjajah menguasai SDA di seluruh negeri-negeri Islam.
2. 'Adamu Ats-Tsiqqoh bin-Nafsi (Tidak percaya diri).
Mental tidak percaya diri akan hadir saat juru-juru dakwah memiliki mental tangan di bawah. Atau tak memiliki prestasi nyata dalam kehidupan. Faaqidussyai laa yu'thi (orang tenggelam tak mungkin memberi pualam). Cirinya mudah. Yaitu mudah dengki, hasud, iri. Penyakit SMS (Senang Melihat orang Susah; Susah Melihat Orang lain Senang). Sibuk mencari aib. Fitnah dianggap nasihat. Satu lagi, merasa dirinya paling benar dan paling dekat dengan surga.
Mental ini ternyata yang marak dalam kehidupan para juru dakwah. Perhatikan para juru dakwah. Mengaku paling sunnah hanya dengan celana cangkring, janggut panjang, atau mengibarkan bendera tauhid. Lalu tidak menjalankan sunnah Nabi yang lain; unggul dalam pengabdian, luhur dalam akhlak, muncul dalam bisnis-niaga-dagang, agung dalam kepemimpinan.
3. Ghiyaabul Hadfi (Target/tujuan yang tiak realistis).
Perjuangan yang tidak jelas targetnya, maka tidak akan jelas fase-fase perjuangannya. Perjuangannya cenderung; "Pokoke". Sayangnya tidak terukur dalam teritori tertentu. Sebagai contoh, jika kader satu organisasi dakwah menguasai satu teritori selama 5 tahun. Maka target dan sasaran yang ingin dicapai sangat jelas. Anggarannya ada. Aparat dan birokrasi pelaksana juga tersedia. Lalu bagaimana dengan organisasi dakwah yang sama sekali tidak memiliki teritori? Jadi RT pun tak pernah! Lantas ingin memimpin dunia?
4. Sijnul Maadhi (Terpenjara masa lalu).
Sejarah itu adalah bagian dari kehidupan. Sebagai muslim, kita tak boleh tercerabut dari akar sejarah. Namun tak boleh juga terkungkung dalam nostalgia masa lalu. Kita cenderung membangga-banggakan generasi shahabat, tabi'in, salafus shalih. Namun sayangnya kita tak pernah mampu menyerap saripati kebesaran mereka untuk direalisasikan dalam kehidupan saat ini dan akan datang. Lalu kita hanya menjadi narator sejarah, bukan kreator sejarah!
Kita agungkan Muhammad AlFatih sebagai Sang Pemusar Gelombang! Namun kita tak pernah memiliki sifat-sifat yang sama dengan Muhammad Al-Fatih. Lalu nama AlFatih ditempelkan menjadi "gelar/laqob". Bayangkan namanya AlFatih, AlFaruq, Al-Al lainnya. Namun akhlak saja tak jelas. Masih hobi dengan hal-hal syubhat. Menikmati apa yang diharamkan. BUkankah merusak citra AlFatih?
Post A Comment:
0 comments:
tes