Momentum Idul Fitri kali ini memberikan kesempatan kepada saya untuk bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang, termasuk diantaranya orang-orang yang termasuk kategori “dibalik layar”. Alhamdulillah dalam liburan Idul Fitri ini saya juga mendapatkan kesempatan untuk sedikit membuka lembaran sejarah kejayaan peradaban Islam di masa lampau.
Pernah mendengar ungkapan “Kuasailah Informasi maka engkau akan kuasai dunia?”, ungkapan ini bukan hanya dipromosikan oleh futurolog seperti John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku mereka ‘Megatrend 2000’ yang begitu terkenal di era 90an, namun juga sudah dipraktekkan oleh Bani Umaiyyah dalam mentahlukkan Andalusia di benua Eropa. Dengan keunggulan di bidang penguasaan strategi, teknologi dan informasi, dinasti Bani Umayyah mampu menguasai seluruh wilayah yang ada di Jazirah Arabia, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan hingga Eropa.
Tercatat dalam sejarah, atas permintaan dari warga Andalusia yang ditindas oleh raja Roderick, Kahlifah Al Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah bermaksud untuk mengirimkan ekspedisi untuk membebaskan Andalusia. Sebelum bergerak menaklukkan Andalusia, Khalifah Al Walid bin Abdul Malik memberikan instruksi untuk mengirim pasukan intelijen tempur atau talailah untuk melakukan pengintaian terhadap musuh dan pengkondisian wilayah sasaran.
Dengan dukungan De Graff Julian, seorang pemimpin lokal yang tidak puas dengan gaya kepemimpinan Raja Roderick yang lalim, Tharif bin Malik bersama sekitar empat ratus orang pasukan berhasil menyelinap ke wilayah Andalusia untuk mencari berbagai informasi mengenai kekuatan yang dimiliki musuh sekaligus melakukan operasi clandestine untuk mempersiapkan kedatangan pasukan utama dengan kekuatan yang lebih besar.
Keberadaan pasukan talailah ternyata cukup efektif, setelah semua informasi yang dibutuhkan tersedia dan daerah sasaran terkondisikan, barulah dikirim pasukan utama di bawah komandan Thariq bin Ziyad, yang melakukan pendaratan melalui sebuah selat yang kemudian dikenal dengan sebutan Jabal Thariq atau Giblaltar.
Pernah mendengar ungkapan “Kuasailah Informasi maka engkau akan kuasai dunia?”, ungkapan ini bukan hanya dipromosikan oleh futurolog seperti John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku mereka ‘Megatrend 2000’ yang begitu terkenal di era 90an, namun juga sudah dipraktekkan oleh Bani Umaiyyah dalam mentahlukkan Andalusia di benua Eropa. Dengan keunggulan di bidang penguasaan strategi, teknologi dan informasi, dinasti Bani Umayyah mampu menguasai seluruh wilayah yang ada di Jazirah Arabia, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Selatan hingga Eropa.
Tercatat dalam sejarah, atas permintaan dari warga Andalusia yang ditindas oleh raja Roderick, Kahlifah Al Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah bermaksud untuk mengirimkan ekspedisi untuk membebaskan Andalusia. Sebelum bergerak menaklukkan Andalusia, Khalifah Al Walid bin Abdul Malik memberikan instruksi untuk mengirim pasukan intelijen tempur atau talailah untuk melakukan pengintaian terhadap musuh dan pengkondisian wilayah sasaran.
Dengan dukungan De Graff Julian, seorang pemimpin lokal yang tidak puas dengan gaya kepemimpinan Raja Roderick yang lalim, Tharif bin Malik bersama sekitar empat ratus orang pasukan berhasil menyelinap ke wilayah Andalusia untuk mencari berbagai informasi mengenai kekuatan yang dimiliki musuh sekaligus melakukan operasi clandestine untuk mempersiapkan kedatangan pasukan utama dengan kekuatan yang lebih besar.
Keberadaan pasukan talailah ternyata cukup efektif, setelah semua informasi yang dibutuhkan tersedia dan daerah sasaran terkondisikan, barulah dikirim pasukan utama di bawah komandan Thariq bin Ziyad, yang melakukan pendaratan melalui sebuah selat yang kemudian dikenal dengan sebutan Jabal Thariq atau Giblaltar.
Perkembangan intelijen modern saat ini telah berkembang jauh lebih pesat dibandingkan masa lampau. Tidak hanya sekedar analisa dan pengolahan data untuk pengambilan keputusan bisnis, dengan operasi intelijen bisnis yang dikelola dengan baik, suatu entitas bisnis atau bahkan negara agresor bisa menguasai sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh negara lainnya tanpa harus menguasai secaa fisik negara sasaran.
Dalam dunia intelijen dikenal istilah cover atau penyamaran. Tujuan penggunaan cover dalam operasi intelijen secara prinsip adalah agar aktivitas intelijen tersebut tidak diketahui musuh dan keberadaan tim intelijen bisa diterima oleh target operasi. Dalam kisah penaklukkan Andalusia, sebagai cover (kedok) dari operasi intelijen yang dilakukan Tharif bin Malik bersama pasukannya adalah De Graff Julian sebagai kolaborator dan penyedia dukungan logistik. Lalu bagaimana dengan era globalisasi seperti sekarang ini?
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi seperti sistem big data, komputasi cloud dan sebagainya mendorong aktivitas intelijen bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Keberadaan perusahaan penyedia teknologi juga merupakan cover intelijen yang bagus dalam pengunpulan informasi dan analisa data.
Berbagai laporan menyebutkan, Amerika Serikat merupakan pelopor spionase global dengan memanfaatkan Google sebagai salah satu penyuplai teknologi dan data untuk kepentingan intelijen mereka. Coba Anda bayangkan, saat ini hampir semua data pribadi dan aktivitas masyarakat modern bisa di akses oleh Google melalui HP android yang masing-masing kita miliki. Termasuk kapan kita bangun, pergi kemana kita hari ini, atau bahkan menu makanan favorit kita apa saja.
Tidak hanya perusahaan raksasa yang bisa digunakan sebagai cover intelijen, bahkan perusahaan startup lokal yang baru seumur jagung sangat mungkin menjadi selubung operasi intelijen dari negara asing guna menguasai potensi pasar Indonesia yang sangat besar dengan populasi penduduk ke empat terbesar di dunia.
Saat ini banyak perusahaan venture asing yang berburu start-up bisnis dari Indonesia, untuk dibiayai dan dibesarkan. Sebagai contoh adalah berita heboh perusahaan jasa transportasi online lokal yang disuntik investasi 16 Miliar dolar dari negeri komunis Tirai Bambu. Tidak berselang lama kemudian, perusahaan transportasi online ini bertransformasi menjadi salah satu raksasa penyedia platform e-money di Indonesia. Disatu sisi hal ini tentu sangat membanggakan namun, namun disisi lain juga mengkhawatirkan, karena sangat mungkin itulah pintu masuk kepentingan asing dalam memata-matai dan menguasai sektor ekonomi Indonesia.
Lalu bagaimana dengan kita? Tentu kita harus waspada namun juga tidak boleh larut dalam ‘penyakit paranoid’ terhadap investasi asing. Bagi para pebisnis pemula, sepertinya sudah saatnya untuk mencari juga investor yang ‘seide dan sefaham’ dengan pemikiran dan prinsip hidup dan keyakinan kita. Dan bagi yang diberikan kelebihan rizki, sudah saatnya untuk berinvestasi ke start-up milik anak bangsa yang memiliki potensi untuk dikembangkan bukan lagi ‘memarkirkan dana’ ke Bank konvensional.
Penulis: Safari Hasan, S.IP, MMRS (Direktur Qualita Insani Foundation)
Dalam dunia intelijen dikenal istilah cover atau penyamaran. Tujuan penggunaan cover dalam operasi intelijen secara prinsip adalah agar aktivitas intelijen tersebut tidak diketahui musuh dan keberadaan tim intelijen bisa diterima oleh target operasi. Dalam kisah penaklukkan Andalusia, sebagai cover (kedok) dari operasi intelijen yang dilakukan Tharif bin Malik bersama pasukannya adalah De Graff Julian sebagai kolaborator dan penyedia dukungan logistik. Lalu bagaimana dengan era globalisasi seperti sekarang ini?
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi seperti sistem big data, komputasi cloud dan sebagainya mendorong aktivitas intelijen bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Keberadaan perusahaan penyedia teknologi juga merupakan cover intelijen yang bagus dalam pengunpulan informasi dan analisa data.
Berbagai laporan menyebutkan, Amerika Serikat merupakan pelopor spionase global dengan memanfaatkan Google sebagai salah satu penyuplai teknologi dan data untuk kepentingan intelijen mereka. Coba Anda bayangkan, saat ini hampir semua data pribadi dan aktivitas masyarakat modern bisa di akses oleh Google melalui HP android yang masing-masing kita miliki. Termasuk kapan kita bangun, pergi kemana kita hari ini, atau bahkan menu makanan favorit kita apa saja.
Tidak hanya perusahaan raksasa yang bisa digunakan sebagai cover intelijen, bahkan perusahaan startup lokal yang baru seumur jagung sangat mungkin menjadi selubung operasi intelijen dari negara asing guna menguasai potensi pasar Indonesia yang sangat besar dengan populasi penduduk ke empat terbesar di dunia.
Saat ini banyak perusahaan venture asing yang berburu start-up bisnis dari Indonesia, untuk dibiayai dan dibesarkan. Sebagai contoh adalah berita heboh perusahaan jasa transportasi online lokal yang disuntik investasi 16 Miliar dolar dari negeri komunis Tirai Bambu. Tidak berselang lama kemudian, perusahaan transportasi online ini bertransformasi menjadi salah satu raksasa penyedia platform e-money di Indonesia. Disatu sisi hal ini tentu sangat membanggakan namun, namun disisi lain juga mengkhawatirkan, karena sangat mungkin itulah pintu masuk kepentingan asing dalam memata-matai dan menguasai sektor ekonomi Indonesia.
Lalu bagaimana dengan kita? Tentu kita harus waspada namun juga tidak boleh larut dalam ‘penyakit paranoid’ terhadap investasi asing. Bagi para pebisnis pemula, sepertinya sudah saatnya untuk mencari juga investor yang ‘seide dan sefaham’ dengan pemikiran dan prinsip hidup dan keyakinan kita. Dan bagi yang diberikan kelebihan rizki, sudah saatnya untuk berinvestasi ke start-up milik anak bangsa yang memiliki potensi untuk dikembangkan bukan lagi ‘memarkirkan dana’ ke Bank konvensional.
Penulis: Safari Hasan, S.IP, MMRS (Direktur Qualita Insani Foundation)
Post A Comment:
0 comments:
tes