Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi defisit neraca dagang pada Oktober 2018. Defisit tersebut mencapai US$ 1,82 miliar.

Selama Oktober 2018 ekspor tercatat tumbuh 3,59% secara tahunan (year-on-year/YoY) US$ 15,80 miliar sedangkan impor tumbuh lebih kencang 23,66% YoY ke US$ 17,62 miliar.

Realisasi defisit bulan lalu jauh lebih besar dari konsensus pasar CNBC Indonesia yang memperkirakan neraca perdagangan Oktober 2018 defisit tipis di US$ 62,5 juta. Ekspor diramal tumbuh dalam kisaran terbatas yaitu 1,4% YoY. Kemudian impor diproyeksikan "hanya" tumbuh 10% YoY.


Capaian bulan Oktober lantas bertolak belakang dari surplus US$ 310 juta pada bulan September. Apabila ditelusuri lebih jauh, defisit perdagangan di bulan lalu merupakan salah satu yang terparah di tahun ini, hanya kalah dari defisit di bulan Juli 2018 (- US$ 2,03 miliar)

Kepala BPS Suhariyanto mengakui impor migas menjadi biang kerok kencangnya laju impor. "Karena ada peningkatan impor minyak mentah, hasil minyak dan gas," kata Suhariyanto.

Lantas berapa defisit perdagangan migas di bulan lalu? Berdasarkan data BPS, ekspor migas di Oktober "hanya" sebesar US$ 1,48 miliar, sementara impor mencapai US$ 2,91 miliar. Alhasil, defisit perdagangan migas di bulan lalu mencapai US$ 1,43 miliar. Nilai sebesar itu menjadi no. 2 terparah di tahun 2018, hanya kalah dari defisit di Agustus (- US$ 1,61 miliar).

Secara kumulatif, defisit perdagangan migas di tahun ini (Januari-Oktober 2018) sudah mencapai US$ 10, 74 milliar. Apabila dikonversi ke kurs rupiah, nilai sebesar itu setara dengan Rp 158 Triliun. Artinya, RI tekor sebesar itu dari perdagangan migas.

Apabila ditelusuri secara historis, defisit perdagangan migas di Januari-Oktober 2018 meningkat 62,75% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada periode Januari-Oktober 2017, defisit migas "hanya" sebesar US$ 6,6 miliar.

Terlebih, defisit migas di sepanjang tahun ini sudah mengungguli nilai defisit tahun 2017 setahun penuh (US$ 8,58 miliar). Padahal, tahun 2018 masih menyisakan 2 bulan lagi. Jika ditarik lebih jauh, defisit migas tahun ini hanya lebih "mending" dibandingkan defisit di Januari-Oktober 2014 yang mencapai US$ 11,14 miliar.

Impor migas memang meningkat cukup tajam di bulan lalu, yakni mencapai 31,78% YoY. Uniknya, kenaikan itu terjadi justru saat harga minyak brent turun nyaris 9% di sepanjang bulan Oktober secara point-to-point. Sedangkan harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) malah amblas nyaris 11% di periode yang sama.

Berarti hanya ada dua alasan mengapa impor migas bisa melambung. Pertama, konsumsi dalam negeri yang memang meningkat. Dilihat dari data BPS, total volume impor migas Oktober sebenarnya masih turun -4,47% YoY. Yang berarti ada perlambatan dari sisi volume.

Tapi, apabila dielaborasikan lebih lanjut, penurunan volume impor banyak terjadi pada jenis minyak mentah (-22,88% YoY). Di sisi lain, volume impor hasil minyak tercatat masih meningkat 8,81% YoY.

Pembelian hasil minyak jelas akan memakan biaya yang lebih besar dibandingkan pembelian minyak mentah. Alhasil, saat volume impor hasil minyak bertambah, biaya importase akan cenderung meningkat secara lebih signifikan.

Kedua, nilai tukar rupiah yang terdepresiasi sebesar 2,01% di sepanjang Oktober secara point-to-point. 1 US$ bahkan sempat dibanderol hingga Rp 15.230/US$ di pertengahan Oktober 2018. Pelemahan rupiah jelas akan menambah beban importase RI, karena harga minyak menjadi relatif lebih mahal.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Axact

CYBER TAUHID

Blog ini dibuat untuk mengcounter propaganda musuh musuh Islam dari dalam maupun dari luar, bagi antum yang peduli silakan sebarkan artikel yang ada di blog ini. In Shaa Alloh kami dapatkan berita dari sumber yang terpercaya.NO HOAX

Post A Comment:

0 comments:

tes